Kelas Sejarah di kota Berlin

Menelusuri kota Berlin itu seperti sedang di kelas Sejarah. Di setiap sudutnya kita bisa membaca catatan masa lalu. Tentang Jerman. Tentang dunia. Dari mulai cerita robohnya tembok Berlin, sampai kisah perang dunia.

Perjalanan panjang menuju Berlin

Awalnya, saya tidak memasukan Jerman ke dalam itinerary saya. Perjalanan waktu itu seharusnya berakhir di Milan. Saya bahkan sudah membeli tiket pesawat Milan-London untuk kembali ke UK.

Naasnya, pengajuan VISA Schengen saya hanya disetujui untuk satu bulan. Artinya, saya harus mengajukan visa lagi kalau nanti ingin ke Jerman. Maka saya putuskan untuk mengubah itinerary. Namun karena rencana perjalanan yang sudah cukup panjang, saya hanya bisa menambahkan satu hari ke dalam itinerary, yang berarti juga hanya satu kota.

Dari Milan ke Jerman sebetulnya tidak terlalu jauh. Munich yang berada di selatan Jerman hanya berjarak sekitar 450 km. Seperti Jakarta-Semarang. Tetapi ketika saya mencari tiket dari Milan ke Munich, Berlin, dan Stuttgart, tidak ada yang cocok, baik jadwal penerbangan maupun harganya. 

Uniknya, saya mendapati tiket penerbangan dari London Stansted ke Berlin (Schoenefeld) justru lebih murah, dengan jadwal yang pas. Apalagi Berlin memang kota di Jerman pertama yang ada di list saya. Dengan kondisi saya sudah memiliki tiket ke Stansted yang akan hangus kalau tidak dipakai, saya memutuskan untuk membeli tiket tersebut.

Di hari H, saya pun harus berpindah dari Milan ke Berlin lewat London. Ibarat dari Tangsel ke Bekasi lewat Bogor. Pukul 14.25 pesawat saya berangkat dari Milan. Setibanya di Stansted Airport, saya keluar dari imigrasi seperti biasa. Kemudian kembali ke area boarding dan bersiap memasuki pesawat yang ketujuh dalam dua minggu perjalanan saya.

Booking tiket Milan-London (kiri) dan London-Berlin-London (kanan)

Menginap di bandara seorang diri

Pukul 9 malam saya sudah di Berlin. Menginap di Bandara. Bukan pengalaman pertama bermalam di bandara sebetulnya, tapi ini pertama kalinya tanpa teman. Selain karena jadwal penerbangan yang memang sudah agak malam, tentunya juga untuk berhemat.

Malam itu ada beberapa traveler lain yang juga menginap disana, tapi tidak banyak. Untuk beristirahat, saya menemukan sebuah ruang tunggu yang cukup nyaman. Terdapat beberapa bangku panjang yang bisa dijadikan alas tidur. Sepi, nyaman juga untuk dipakai sholat. Free wifi juga tersedia, jadi saya bisa melewati malam itu dengan tenang. 

Menuju Pusat Kota

Pagi hari tiba, waktunya untuk menjelajah. Sehabis bersih-bersih sekadarnya, saya bergegas menuju stasiun Bahnhof Flughafen Berlin yang lokasinya tepat di sebelah bandara.

Transportasi di Berlin sangat baik. Traveler bisa memilih untuk menggunakan kereta, Underground, trem, atau bus. Tersedia tiket untuk dua jam, satu hari, atau untuk beberapa hari, yang bisa digunakan di semua moda transportasi. Waktu itu saya menggunakan tiket untuk satu hari dengan harga sekitar Rp140.000. Selain berdasarkan waktu, harga tiket ini juga tergantung zona yang akan kita lalui. Untuk lebih jelasnya bisa cek disini.

Untuk menuju pusat kota, saya melewati wilayah timur Berlin yang dulunya merupakan bagian dari Jerman Timur. Tipikal desain bangunannya kaku, tidak seperti kota-kota lain di eropa barat. Lebih mirip gedung-gedung di Rusia.

Tembok Berlin

Tujuan pertama saya adalah Berlin Memorial Wall. Kurang lebih satu jam perjalanan, saya tiba disana. Kelas sejarah pun siap dimulai.

Dari namanya sudah bisa ditebak kalau ini adalah memorial Tembok Berlin. Lebih tepatnya monumen untuk menghormati para korban perang dingin dan dokumentasi sejarahnya.

Selain catatan dan gambar yang menceritakan periode terpecahnya Jerman di masa perang dingin, wisatawan juga bisa melihat bagian tembok asli yang masih dipertahankan sebagai saksi sejarah. Saya jadi dapat membayangkan realita perbatasan Jerman Barat dan Timur di masa itu dengan lebih jelas.

Beberapa foto-foto sejarah yang dipamerkan di area Berlin Memorial Wall

Masih penasaran dengan cerita Tembok Berlin, saya lanjut ke East Side Gallery. Kurang lebih setengah jam dengan menggunakan Underground ke arah selatan.

Sama halnya dengan Berlin Memorial Wall, monumen ini juga merupakan sisa-sisa Tembok Berlin. Setelah keruntuhannya, area ini diubah menjadi galeri ruang terbuka terbesar di dunia dengan lebih dari seratus mural terpampang pada tembok sepanjang 1,3 km.

“The Mortal Kiss” oleh Dmitri Vrubel, salah satu lukisan yang paling populer di East Side Gallery

8 km Walking Tour

Selesai dengan perkara tembok, tujuan saya berikutnya adalah Brandenburg gate. Letaknya tidak dekat, sekitar 5 km dari East Side Gallery. Tetapi karena sepanjang jalan itu banyak destinasi menarik, saya pun memutuskan untuk berjalan kaki. 

Pemberhentian pertama saya adalah Berlin Television Tower. Lokasinya di Alexanderplatz yang merupakan salah satu area publik paling populer di Berlin. Untuk sampai disana, saya berjalan selama kurang lebih 40 menit sepanjang sungai Spree sambil menikmati sisi timur kota Berlin. 

Fernsehturm, demikian warga lokal biasa menyebutnya, merupakan bangunan tertinggi di Berlin dengan ketinggian mencapai 368m. Dengan tiket seharga 17.50EUR, pengunjung dapat menikmati panorama 360 derajat kota Berlin dari atas menara. Tapi, sebagai traveler kere, tentu saya kesana hanya untuk melihat gedung itu dari bawah, haha.

Bagian kota Berlin yang dulunya merupakan wilayah Jerman Timur (kiri) dan Alexanderplatz dengan the World Clock dan Fernsehturm (kanan)

Dalam perjalanan selanjutnya, saya melewati banyak tempat dan bangunan menarik lainnya. Diantaranya adalah Berlin Cathedral, Lustgarten, Altes Museum, dan Neue Wache. Perjalanan yang sebetulnya cukup jauh menjadi tidak begitu terasa.

Berlin Cathedral
Lustgarten

Tidak lama setelah melewati Humboldt Universitate of Berlin, saya sampai di Gendarmenmarkt, semacam alun-alun kalau di Indonesia. Yang paling menarik dari area ini adalah kehadiran tiga bangunan dengan desain arsitektur yang impresif: the Concert House, the German Cathedral, dan the French Cathedral. Waktu itu, banyak orang yang sepertinya warga lokal sedang duduk berkumpul menikmati makan siang dan ngopi-ngopi.

Gendarmenmarkt

Sekitar sepuluh menit berjalan kaki ke arah selatan dari Gendarmenmarkt, saya sampai di Checkpoint Charlie. Titik ini merupakan salah satu titik perlintasan utama antara Berlin Barat dan Timur selama perang dingin, dan satu-satunya yang dapat dilalui pasukan sekutu. 

Bangunan pos penjagaan yang asli saat ini berada di Allied Museum, di Berlin-Zehlendorf. Sementara replikanya didirikan di lokasi dan menjadi destinasi wisata. Para pengunjung biasanya berfoto bersama dua pria berseragam tentara sekutu dengan latar belakang pos tiruan tersebut.

Checkpoint Charlie

Dari sana saya berjalan menuju situs bersejarah lainnya, Holocaust Memorial. Tidak jauh, kurang lebih sama seperti Gendarmenmarkt-Checkpoint Charlie. Kalau di lihat di peta, ketiga lokasi ini seperti membentuk segitiga sama sisi.

Sedikit mundur dari masa perang dingin, memorial ini merupakan penghormatan untuk orang-orang Yahudi yang menjadi korban pemerintahan Hitler. 2.711 lempengan disusun seperti gelombang pada area seluas 2 hektar. Pengunjung dapat dengan bebas menelusuri batu-batu itu dari berbagai arah. Di salah satu bagian bawah tanahnya, terdapat pusat informasi mengenai para korban aksi Hitler dan partai NAZInya.

Holocaust

Brandenburg Gate, simbol bersatunya Jerman Barat dan Timur

Dari Holocaust saya sudah bisa melihat Brandenburg Gate, ikon kota Berlin yang umumnya menjadi tujuan utama wisatawan di ibu kota Jerman ini. Saya pun menuju kesana.

Kalau sebagian besar tempat-tempat sebelumnya mengajak saya ke masa perang dunia dan perang dingin, Brandenburg gate membawa saya jauh ke belakang, ke abad XVIII. Ya, bangunan ini dibangun pada tahun 1791, sudah berusia lebih dari 200 tahun.

Tetapi, gerbang ini juga punya peran besar selama perang dingin. Pada masa itu, Brandenburg gate merupakan salah satu titik perlintasan Tembok Berlin. Tempat ini menjadi area protes selama terpecahnya Jerman dan juga tempat selebrasi ketika Tembok Berlin runtuh di tahun 1989. 

Brandenburg gate

Bergeser sedikit dari sana, saya sudah berada di Reichstag, titik terakhir walking tour saya. Reichstag merupakan gedung pemerintahan yang juga sarat akan peristiwa sejarah. Namun bagi kebanyakan wisatawan, yang paling menarik dari gedung ini adalah desainnya yang menawan.

Di depannya terdapat tanah lapang yang sangat luas, tempat orang-orang biasa bersantai. Menikmati keindahan Reichstag di sisi timur, serta pepohonan yang rindang di sisi selatan dan barat.

Reichstag
Peta walking tour saya, dari East Side Gallery (Z) sampai Reiichstag (H), total sekitar 8 km

Walking tour selesai, tapi masih ada satu tempat lagi yang hendak saya kunjungi, Olympiastadion. Letaknya cukup jauh, jadi tidak mungkin untuk saya berjalan kaki. Dengan Underground saja dibutuhkan waktu hampir satu jam. Bahkan mungkin karena jauhnya, sampai di stasiun Olympiastadion, Undergroundnya sudah tidak lagi di bawah tanah, haha.

Olympiastadion merupakan salah satu stadion terbesar di Jerman dengan kapasitas hampir 75.000 kursi. Usianya sudah hampir 100 tahun dan desainnya sangat mirip dengan Stadion Utama GBK. 

Saat ini, Olympiastadion merupakan kandang klub Herta Berlin dan juga sering digunakan untuk pertandingan tim nasional Jerman. Satu hal yang saat itu saya tidak tahu, satu bulan setelah kunjungan saya, stadion ini menjadi venue final Liga Champion antara dua klub favorit saya, Juventus dan Barcelona.

Olympiastadion

Selesai mengelilingi dan melihat stadion dari dekat, saya kembali ke tengah kota. Stadion ini memang letaknya berlawanan arah dengan bandara Schoenefeld, jadi mau tidak mau saya harus melewati pusat kota lagi. Tapi memang rencana saya seperti itu. Saya masih mau mencari makan sambil menikmati Berlin di sisa waktu sebelum saya pulang.

Kembali ke era tanpa handphone

Salah satu momen yang tidak terlupakan dalam perjalanan ini adalah ketika handphone saya kehabisan daya. Waktu di bandara malam sebelumnya saya memang hanya sempat menchargenya sebentar karena kondisi saya yang harus beristirahat seorang diri di tempat umum. 

Kalau tidak salah, handphone saya mati sudah sejak dari Checkpoint Charlie. Alhasil di sisa perjalan itu saya hanya bisa mengandalkan peta wisata yang saya peroleh dari bandara, papan penunjuk arah, dan memori yang terbatas. Mencoba mengingat-ngingat tempat-tempat yang saya lewati sebelumnya. Dan bertanya pada saat betul-betul diperlukan.

Cukup menantang, seorang diri di negara yang bahasanya tidak saya kuasai, dan sekarang tanpa handphone

Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan perjalanan saya dan kembali ke bandara dengan selamat. Cerita saya di Eropa daratan selama dua minggu berakhir di Berlin. Kota dengan segudang catatan sejarah yang telah turut mewarnai sejarah perjalanan hidup saya.

Sources: my own experiences, visitberlin.de, tripadvisor.com, touropia.com, travel.sygic.com

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started